Pelajari faktor penyebab bullying di sekolah yang sering terabaikan agar kita bisa mencegah dan menciptakan lingkungan aman bagi siswa.

Bullying di sekolah bukan sekadar cerita lewat berita atau film. Ia nyata. Ia tumbuh diam-diam di koridor, di ruang kelas, bahkan di halaman belakang sekolah. Banyak yang bertanya, kenapa hal seperti ini masih saja terjadi? Jawabannya tidak sesederhana satu kalimat. Ada banyak faktor penyebab bullying sekolah yang saling berkaitan, seringkali berawal dari hal kecil namun berdampak besar.

Lingkungan Sekolah yang Kurang Mendukung

Sekolah seharusnya menjadi tempat aman bagi semua siswa. Namun, tidak semua sekolah memiliki sistem pengawasan dan respons cepat terhadap perilaku tidak sopan. Saat guru atau pihak sekolah kurang peka, pelaku merasa bebas. Kadang, mereka menganggap ejekan kecil itu “cuma bercanda,” padahal bisa melukai.

Budaya diam di kalangan siswa juga memperkuat siklus ini. Banyak siswa memilih menutup mata saat temannya di bully, takut ikut jadi sasaran. Dari sinilah salah satu faktor penyebab bullying sekolah muncul rasa normalisasi terhadap kekerasan kecil.

Faktor Keluarga dan Pola Asuh

Rumah adalah tempat pertama anak belajar tentang empati. Tapi ketika anak sering melihat kekerasan atau cemoohan di rumah, perilaku itu terbawa ke sekolah. Tidak jarang, pelaku bullying berasal dari keluarga yang keras, penuh tuntutan, atau tidak punya komunikasi sehat.

Sebaliknya, kurangnya perhatian juga berbahaya. Anak yang tidak dipeluk dengan kasih, mencari cara agar “terlihat,” bahkan lewat tindakan negatif terhadap teman sebayanya. Ini salah satu faktor penyebab bullying sekolah yang paling sering tidak disadari oleh orang tua.

Pengaruh Teman Sebaya

Anak remaja mudah terpengaruh. Di masa ini, mereka butuh diakui, diterima. Kadang, untuk terlihat “kuat” atau “populer,” bullying menjadi alat. Tekanan teman sebaya bisa membuat anak yang sebenarnya baik ikut-ikutan menindas agar tidak dikucilkan.

Lingkungan pertemanan yang toxic ini menciptakan rantai perilaku buruk yang sulit diputus. Satu tindakan kecil bisa menular jadi kebiasaan bersama. Karena itu, penting membangun komunitas sekolah yang mendorong empati, bukan ejekan.

Kurangnya Pendidikan Emosional

Sekolah sering fokus pada nilai akademik, tapi lupa pada pendidikan karakter dan pengelolaan emosi. Anak-anak tidak lahir dengan kemampuan memahami perasaan orang lain dan itu perlu diajarkan. Ketika empati tidak berkembang, ejekan dianggap wajar, dan rasa bersalah menjadi tumpul.

Kurikulum yang hanya menilai kognitif membuat anak belajar bersaing, bukan berempati. Padahal, di sinilah akar dari sebagian besar faktor penyebab bullying sekolah tumbuh diam-diam, menunggu waktu untuk muncul ke permukaan.

Media dan Representasi Kekerasan

Film, video game, dan media sosial sering memperlihatkan kekerasan sebagai hiburan. Tanpa edukasi yang tepat, anak-anak meniru perilaku itu tanpa memahami akibatnya. Saat candaan kasar di media sosial jadi tren, beberapa anak menganggap perilaku serupa juga lucu di dunia nyata.

Eksposur terus-menerus terhadap konten seperti ini mengaburkan batas antara bercanda dan menghina. Akibatnya, bullying menjadi bagian dari gaya komunikasi sehari-hari.

Kurangnya Penanganan dan Kesadaran

Masalah ini tidak akan berhenti jika kita hanya menyalahkan pelaku. Semua pihak termasuk guru, orang tua, teman punya tanggung jawab. Ketika sekolah tidak punya sistem pelaporan yang jelas, korban takut bicara. Ketika orang tua menutup mata, luka anak makin dalam.

Kesadaran kolektif menjadi senjata utama untuk memutus rantai bullying. Karena faktor penyebab bullying sekolah paling berbahaya adalah ketika semua orang tahu tapi memilih diam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *